Saya diposisikan dalam dua pilihan yang harus saya pegang.
Dilema.
Apakah itu artinya menepati janji, atau konsistensi...
Saya suka tantangan, tapi bukan tekanan.
Memang, justru tekanan itulah tantangannya.
Tapi tak semudah itu, Tak semudah itu mengubah tekanan menjadi tantangan.
Tak semudah itu membuat pandangan sebuah tekanan "yang harus dirasakan" menjadi Tantangan "yang harus ditaklukan".
Tak Semudah itu.
Jika sudah begini, saya jadi ingat sebuah puisi.
Puisi yang dari dulu menginspirasi saya
Puisi yang dulu sempat membuat saya "jaya"
Atas pemikiran dan maknanya. Aku.
Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang, menerjang
Luka bisa kubawa berlari
berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli lagi
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang, menerjang
Luka bisa kubawa berlari
berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli lagi
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Semangat itu. Kejalangan itu. Yang dulu hinggap di jiwa saya.
Kini seiring berjalannya waktu, mulai terbang perlahan-lahan.
Hingga semua hilang sama sekali.
Dan tanpa sadar saya terikat oleh pasung ketidakberdayaan.
Kejalangan itu hilang. Tinju yang dulu terkepal mulai luluh. Dan lengan yang dulu teracung, urung tuk tegak kembali.
Pasung-pasung itu mengubah saya menjadi "gila". Dalam makna sebenarnya.
Akhirnya saya merenung, dan melihat kembali sajak-sajak "Aku" tadi.
Dan setelah saya amati, "Aku" bukanlah sembarang aku. "Aku adalah sebuah sikap, sebuah energi, sebuah kekuatan, yang tercurah dalam jiwa "Aku" berwujud sajak-sajak nya. "Aku."
"Kalau sampai waktuku 'tak seorang kan merayu"
Disini "Aku" telah mengungkap dirinya dengan prinsipnya. "Aku" telah memberi "tanda" pada pembaca, bahwa ia adalah orang yang tegas. Jangan pernah main-main dengannya. Tak ada yang bisa menghalanginya.
"Tidak juga kau"
Ya, tidak juga kau! "Aku" tak pernah pandang bulu. Ia punya prinsip yang kokoh. Jika pendiriannya sudah bulat, "Aku" tak akan tergoda oleh siapapun. Tak peduli itu kau, dia, mereka, bahkan "Aku" sendiri.
"Tak perlu sedu sedan itu"
"Aku" tak perlu simpati. "Aku" tak butuh dikasihani. Bagi "Aku", Simpati adalah kekurangan. Itu hanya membuat hatinya tak sekeras batu lagi.
"Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang"
dari kumpulannya terbuang"
"Aku" menyebut dirinya Binatang Jalang. "Binatang" dan "Jalang". Kita tahu, dengan menyebut binatang saja, sudah menunjukkan bahwa "Aku" adalah rendahan, sama seperti binatang. Garang. Dan "Jalang". Tapi ia juga bilang, ia merupakan kumpulan yang terbuang. Artinya "Aku" memang sudah tak diterima lagi di "kumpulannya".
Tentu saja, karena "Aku" terlalu "garang" untuk disebut sebagai binatang. Dan bahkan terlalu "Jalang" dari kejalangan itu sendiri. Sehingga kumpulannya berpikir, "Aku" memang bukan bagian dari mereka. "Aku" dibuang.
"Biar peluru menembus kulitku ku tetap meradang, menerjang"
Bahkan peluru-peluru itu bukanlah masalah bagi "Aku". Ia abaikan bedil-bedil itu menembus kulitnya. Ia bisa meradang dan menerjang. Apa soal? "Aku" tak akan membiarkan dirinya berhenti hanya karena selongsong peluru merobek kulitnya.
"Luka bisa kubawa berlari
berlari"
berlari"
"Aku" tak perlu pengobatan. Biar luka merobek kulitnya, ia akan terus berlari. "Aku tak pernah ambil pusing dengan lukanya, ia tak kan menghabiskan waktu untuk meratapi rasa sakit yang dirasanya. Karna ia harus tetap berlari.
"Hingga hilang pedih peri"
"Aku" membiarkan dirinya berlari bersama luka. Mengabaikan rasa sakit dan perih yang dirasanya. Hingga luka itu mengering, dan perlahan sirna.
"Dan aku lebih tidak peduli lagi
aku mau hidup seribu tahun lagi"
aku mau hidup seribu tahun lagi"
Ya, bahkan "Aku" bisa lebih tidak peduli lagi dari ini. Bahkan untuk peluru yang dapat menembus jantungnya. Atau luka yang dapat merenggut nyawanya. "Aku" bisa lebih tidak peduli. Karena "Aku" punya asa. Atas keinginannya untuk hidup 1000 tahun lamanya.
Itulah "Aku". Sosok yang saya kagumi dari dulu. Sosok yang (mungkin) hampir hilang dari jiwa saya. Sosok yang membakar jiwa bagi siapa yang mendengarnya.
Mungkin peluru yang menembus kulitnya itu, atau luka yang luar biasa perih itu, bisa ditahan jiwanya. Tapi sayang, tidak raganya. Itulah kodrat, raga memang rapuh.
Asa untuk hidup 1000 tahun lagi bersama jasad memang harus urung. Tapi tidak bersama jiwa.
Auman "Aku" masih terdengar sampai sekarang. Walau lebih dari setengah abad yang lalu "Aku" pergi. Tapi semangatnya, energinya, kejalangannya. Masih berbekas sampai sekarang. Itulah kekuatan jiwa. Raga boleh rapuh. Tapi jiwa akan terus berlari.
Energi "Aku" akan selalu terbawa oleh jiwanya, hingga 1000 tahun lagi...
Puisinya Chairil ANwar ya...
BalasHapusselalu keren utk dibaca berulang-ulang...terutama yg bait hidup 1000 tahun lagi...
penafsiran puisinya chairil anwar...mantaps...
BalasHapusMantabs...
BalasHapus@skydrugs: betul, puisinya selalu membuat darah ini beradrenalin...
BalasHapus@fajar&danil: thx...