Sabtu, 16 Juli 2011

Anak-Anak yang Gelisah


Anak – anak muda adalah sebuah energi peradaban yang siap meledak di saat dibutuhkan. Ketika idealisme mereka terbentur alam realitas. Ketika janji kemakmuran berubah menjadi krisis ekonomi yang menyengsarakan. Ketika keadilan telah terbungkam oleh tirani kekuasaan, dan kebebasan terenggut oleh kediktaktoran. Ketika semua itu terjadi, maka bersiaplah. Ibu pertiwi pasti akan menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya. Anak-anak yang membawa keberanian ditengah lautan ketakutan, yang mengibarkan panji perlawanan terhadap penindasan, yang memekikkan gaung pembelaan ditengah pengkhianatan, yang memberikan darah mereka dengan tulus sebagai mahar sebuah kebebasan dan keadilan, dan yang meninggalkan kenikmatan masa mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam deru dan debu jalanan.

Keresahan itu muncul dari jiwa-jiwa yang gelisah. Tapi, kegelisahan yang seperti apakah itu? Yaitu kegelisahan yang membuat mereka berani mencabut semua kenyamanan hidup mereka. Kegelisahan yang membuat mereka bergerak maju di garis depan. Menjemput takdir. Menyambut panggilan sejarah. Kegelisahan bagaikan isyarat bagi anak – anak ini untuk bangun dari tidur panjang mereka dalam rahim sejarah. Seakan kegelisahan memberi mereka energi, semangat perlawanan, dan pembelaan yang ledakannya cukup besar untuk ditulis dalam prasasti sejarah.

Masih ragu dengan kekuatan energi peradaban ini?

Mari kita runut ulang ledakan energi peradaban ini dari generasi 1900-an. Anak-anak gelisah pada generasi ini dengan lantangnya memekikkan gaung perlawanan dan akhirnya memelopori kebangkitan nasional. Lalu, di generasi 28, kegelisahanlah yang membuat anak-anak muda ini memelopori persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan, dan bahasa persatuan. Sejarah mencatatnya dengan Sumpah Pemuda. Di generasi 45, kegelisahanlah yang membuat anak-anak ini memberikan darah mereka dengan tulus demi mahar sebuah kemerdekaan. Lebih dekat lagi, ada generasi 66 yang berhasil mengakhiri tirani orde lama, dan generasi 98 yang mengakhiri kediktaktoran orde baru.

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua sudah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun
.....

(Taufiq Ismail, 1966)

.....
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu

Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri

Karena kalian berani mengukir alphabet pertama dari gelombang ini dengan darah dan arteri sendiri

Merah putih yang setengah tiang ini
Merunduk di bawah garang matahari

.....

(Taufiq Ismail, 1998)

Lihat, tanpa kita sadari kegelisahan inilah yang membuat bangsa kita ini bisa menghirup udara kebebasan. Tapi, tugas belum selesai. Kini kita tengah berada di persimpangan sejarah. Masa transisi yang tengah kita alami boleh jadi merupakan awal bencana besar yang merugikan akan menimpa bangsa kita di masa depan. Sebab, ada kegelisahan baru. Sebuah idealisme yang terpasung dalam realitas. Dan cita – cita reformasi yang telah di gaungkan para generasi dulu pun seakan semakin mengikis dan habis.

Tapi mungkin memang harus begini kenyatannya. Bahwa bangsa ini menghendaki kita melangkah lebih cepat menyelamatkan dirinya. Bahwa seharusnya kita sudah bersiap dengan letupan letupan kecil sebelum isyarat itu terdengar. Atau bahkan sebenarnya isyarat itu sudah dari dulu berbunyi, tapi teredam karena kita terlalu sibuk dengan diri kita sendiri? Sadar dan lihatlah, betapa bangsa ini sudah cukup lama gelisah. Ia butuh sebuah ledakan dari anak-anak yang terlalu pulas tidur dalam rahim sejarah ini. Ledakan energi peradaban.

Saatnya kita bergerak maju dan menuju garis depan. Mungkin inilah saatnya kita menjemput takdir kita. Memenuhi panggilan sejarah (yang mungkin) sudah lama terdengar tapi tak terhiraukan. Memang, perubahan ini sekilas terlihat seperti kabut tebal yang menghalangi cahaya matahari turun ke bumi. Tapi percayalah, keresahan dari anak – anak yang gelisah ini cukup kuat untuk meledakkan energi peradaban bangsa ini.

Garuda bukan burung perkutut
Sang saka bukan sandang pembalut

Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut
Yang hanya berisikan harapan
Yang hanya berisikan khayalan

16 komentar:

  1. saya pun merasakan keresahan semacam itu.
    ohya, saya suka puisinya yang terakhir.

    BalasHapus
  2. thanks kunjungannya. yang terakhir itu bukan puisi. tapi kutipan dari lirik lagu iwan fals

    BalasHapus
  3. artikel yang baguuuss
    Btw kunjungan pertama
    salam kenal ya
    jangan lupa follow balik blog saya ya
    hhe :)

    BalasHapus
  4. artikel yg bagus...
    salam kenal dan sukses selalu :)

    BalasHapus
  5. salam gan ...
    menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
    di tunggu kunjungan balik.nya gan !

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. nice share. inspiring. banyak anak" terlantar di kota" besar seperti jakarta. bisa kita saksikan bersama di lampu merah lampur merah

    BalasHapus
  8. di jaman sekarangpun masih banyak anak yg terlantar
    apa solusi yg tepat buat mengatasi masalah ini y??

    BalasHapus
  9. mantap gan, terima kasih banyak atas artikelnya :) . .

    BalasHapus
  10. yuk teman teman gabung di www.royalflush99.com online terpercaya dan terjamin bermain dengan uang asli via bak bca, bni dan mandiri...

    BalasHapus

  11. thanks sob untuk postingannya...
    article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
    maju terus dan sukses selalu...
    salam kenal yach...
    kunjungi blog saya ya sob,banyak tuh article2 yang seru buat dibaca..
    http://chaniaj.blogspot.com/

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan berkomentar, berpendapat, dll. Tiap komentar akan saya balas, dan akan saya kunjungi balik. Bagi yang mau tukaran link atau saling follow juga boleh :)